Sedikit Analisis tentang Kasus dr.Ayu, Sp.OG

Hari ini, 27 Nopember 2013, dokter se-Indonesia melakukan aksi solidaritas lagi atas ditahannya dr.Ayu, dkk. Setelah sebelumnya tanggal 19-21 Nopember 2013 IDI menghimbau semua dokter untuk mengenakan jas putih dengan pita hitam di lengan kanan saat praktek. Kasus dugaan malpraktek ini sudah menyita perhatian publik, termasuk saya yang juga seorang dokter.

Menurut saya, ada yang salah dengan pernyataan keluarga pasien pada media (lihat di sini). Saya yakin pernyataan tersebut terjadi akibat minimnya pengetahuan keluarga tentang proses persalinan dan hukum kedokteran. Dan tugas dokter yang merawat adalah memberitahu keluarga pasien dengan sejelas-jelasnya tentang kondisi pasien, rencana terapi/tindakan, serta resikonya.

Dikatakan  bahwa Fransiska Makatey (25 tahun) sedang hamil anak kedua dan sudah mengalami kenceng-kenceng (kontraksi)  tanggal 10 April 2010, pukul 04.00 WITA. Di Puskesmas Bahu diperiksa bahwa pembukaan jalan lahir sudah mencapai 8-9 cm. Karena riwayat persalinan pertama dengan vacum, dokter puskesmas merujuk ke RSUP Kandou.

Pukul 07.00, pasien sampai di RSUP Kandou dan mengalami pecah ketuban. Pasien dibawa ke ruang IRDO (Instalasi Rawat Darurat Obstetri) RSUP Kandou pada pukul 08.00 WITA. Ketika diperiksa lagi pada  ternyata pembukaan jalan lahir hanya 5-6 cm sehingga pasien diarahkan ke Kamar Bersalin (Kaber) untuk diobservasi. Sesampainya di Kaber pukul 09.00 pasien kembali diperiksa dan hasilnya pembukaan jalan lahir hanya 2-3 cm. Inilah yang disebutkan oleh keluarga bahwa pasien mengalami penurunan pembukaan jalan lahir. Mengapa bisa begitu? Pemeriksaan pembukaan jalan lahir (vaginal toucher) adalah pemeriksaan yang sangat subyektif tergantung besar tangan dan jam terbang pemeriksanya. Saya saja tidak terlalu ahli dalam memeriksa pembukaan jalan lahir. Sering beda dengan dokter kandungan dan bidan.

Selanjutnya, karena dianggap pembukaan jalan lahir masih 2-3 cm, pasien diobservasi. Jika pembukaan masih 2-3 cm artinya masih masuk Kala I Fase Laten. Jadwal pemeriksaan jalan lahir selanjutnya (menurut teori) adalah 2 jam kemudian. Tetapi jika pasien sudah mengalami pecah ketuban apalagi ini adalah persalinan kedua, sebaiknya diperiksa lebih sering (bisa tiap jam/tiap 30 menit) karena lengkapnya pembukaan jalan lahir bisa terjadi lebih cepat. Tetapi pada media, keluarga pasien mengatakan bahwa dokter terkesan mengulur waktu untuk menunggu persalinan normal dan tidak segera melakukan operasi padahal pasien sudah mengalami pecah ketuban.

KPD

Dari pembukaan 2-3 cm menuju pembukaan lengkap normalnya bisa terjadi dalam waktu 6 jam (menurut Kurva Friedman). Pecahnya selaput ketuban justru bisa mempercepat proses pembukaan jalan lahir. Itulah sebabnya kenapa dokter tidak memutuskan untuk operasi cesar hanya karena ketuban sudah pecah. Ketuban yang pecah bukanlah indikasi operasi cesar, ketuban yang pecah lebih awal adalah indikasi pemberian antibiotik pada pasien, karena resiko infeksi yang meningkat.

Jika memang dari awal keluarga pasien menghendaki operasi cesar, kenapa tidak dibawa ke RS non pendidikan saja yang akan dengan senang hati melayani permintaan pasien untuk operasi cesar tanpa indikasi? Karena RSUP Kandou adalah RS Pendidikan, jadi segala keputusan tindakan harus dilakukan dengan indikasi yang benar. Ini dilakukan untuk kepentingan mendidik para calon dokter umum dan dokter spesialis agar mereka terbiasa melakukan tindakan sesuai dengan indikasi, tidak asal memutuskan karena apa yang mereka kerjakan berkaitan dengan nyawa seseorang.

Saat dokter memutuskan untuk mengobservasi pasien, artinya dokter meyakini bahwa pasien masih bisa melahirkan secara normal. Observasi berarti dokter tetap mengawasi bukan membiarkan, meskipun pada kenyataannya observasi dilakukan oleh bidan, perawat, koass atau bahkan mahasiswa akper/akbid. Salah satu hal yang dilakukan saat observasi adalah penggantian botol infus dan injeksi obat-obatan. Inilah yang harus diketahui oleh masyarakat luas. Di Kaber di RSUD manapun memang tidak boleh ada keluarga yang menemani pasien melahirkan, bahkan suami pasien. Sehingga keluarga pasien tidak mengetahui secara jelas apa yang terjadi di dalam Kaber. Mungkin sebaiknya peraturan ini diubah, pasien boleh ditunggui salah satu keluarganya supaya tidak terjadi salah paham.

Jika tidak ada penyulit, seharusnya pasien Fransiska Makatey bisa melahirkan normal paling cepat pada pukul 15.00 WITA atau maksimal pada pukul 22.00 WITA. Karena proses persalinan normal tanpa penyulit maksimal 18 jam terhitung sejak awal didapatkan tanda persalinan, yaitu pukul 04.00 WITA. Permasalahannya, hingga pukul 18.30 pasien tidak memperlihatkan tanda-tanda kemajuan persalinan. Dokter Ayu segera memutuskan untuk operasi cesar, namun keluarga tidak punya cukup biaya. Di sinilah malapetaka terjadi. Operasi ditunda karena masalah biaya. Sistem administrasi RS di Indonesia memang aneh. Mereka takut pasien kabur dan tidak membayar jika ditagih di belakang. Meskipun masalah biaya adalah kewenangan administrasi RS tetapi jika ada pasien yang tidak berkenan maka dokterlah yang akan disalahkan.

Sebelum dilakukan operasi, dokter sempat konsultasi dengan dokter anestesi, dan dokter anestesi setuju dilakukan operasi dengan resiko tinggi, maka dokter anestesi berpesan untuk memberi tahu keluarga pasien mengenai resiko tersebut. Namun, apa yang terjadi? Dokter tidak memberi tahu keluarga tetapi memberi tahu dan meminta persetujuan kepada pasien sendiri. Sebetulnya tidak salah meminta persetujuan kepada pasien sendiri, tetapi saat itu kondisi pasien lemah dan kesakitan sehingga tidak mungkin memberi persetujuan. Di sinilah letak kesalahan fatal para dokter tersebut. Bahkan ada media yang menyebutkan bahwa salah satu dokter memalsukan tanda tangan pasien pada lembar informed consent. Entah benar atau tidak, hanya Tuhan dan ketiga dokter tersebut yang tahu.

Saat operasi berlangsung, apa yang dikhawatirkan dokter anestesi benar-benar terjadi. Denyut nadi pasien sekitar 160 x/menit artinya ada gangguan akut pada jantungnya. Darah pasien berwarna hitam, artinya saturasi oksigen < 90%. Sang bayi berhasil diselamatkan tapi apesnya 20 menit setelah bayi lahir ibunya meninggal dunia. Keluarga kecewa karena sebelumnya dokter tidak meminta memberitahu dan meminta persetujuan operasi pada mereka. Itulah sebabnya dr.Ayu, dkk dituntut. Tetapi kalau hanya karena tidak ada persetujuan keluarga atas dilakukannya operasi cesar cito maka Mahkamah Agung harus mempertimbangkan PERMENKES NOMOR 290/MENKES/PER/III/2008, Pasal 4, Ayat 1 yang berbunyi “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien, dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.”

Pasal 4

Semoga masyarakat luas semakin terbuka mata hatinya. Semakin pintar dan bijak dalam menghadapi suatu masalah. Kami, para dokter tidak minta dikasihani, hanya minta tidak dikriminalisasi. Semua yang kami lakukan tujuannya menolong pasien, tidak ada yang tujuannya membunuh pasien. Jika sampai terjadi sesuatu pada pasien, itu semua murni resiko pekerjaan karena kami.

Kepada sejawat yang didakwa MA, berbesar hatilah. Dan kepada sejawat lain di seluruh Indonesia, jadikan ini pelajaran berharga untuk kita semua. Jangan malas melakukan informed consent. Jika ada pasien yang sangat proaktif bertanya, jangan ketus menjawab, hadapi dengan senyuman.

Pos ini dipublikasikan di Kedokteran dan tag , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar